Pages

Sunday, November 27, 2011

Menelisik Pendidikan di Tanah Mutiara Hitam

Hingar bingar rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke pada Sabtu malam, 19 November pastilah membahana ketika gol-gol yang ditunggu-tunggu akhirnya hadir memecah kebuntuan pertandingan semi final Indonesia vs Vietnam. SEA Games tahun ini sangat berbeda selain karena mendapatkan kehormatan menjadi tuan rumah,  Indonesia juga terus mendulang emas sejak hari pertama dimulainya SEA Games. Cabang demi cabang terus menyumbangkan prestasinya demi harum nama Indonesia. Salah satu cabang olahraga yang mendapat dukungan luar biasa adalah sepak bola. Garuda muda terus menggebrak dengan permainan yang apik. Dari dalam tubuh Timnas U-23 sendiri, ada trio Papua yang menarik perhatian publik dengan aksi lapangan yang mengesankan. Titus Bonai, Oktovianus Maniani, dan Patrich Wanggai menjadi idola baru di tengah sorak sorai  para pendukung Garuda Muda. Tak hanya trio Papua yang menjadi idola di dalam sepak bola, dalam cabang olahraga lain yang dilombakan dalam SEA Games pun terdapat beberapa rakyat Papua yang menggebrak dengan prestasinya yang mengagumkan. Sebut saja Franklin Ramses Burumi, atlet Papua yang menyumbangkan emas dalam kejuaraan lari nomor 100 meter dan 200 meter, masing-masing dengan waktu 10,37 detik dan 20,93 detik. Franklin bahkan memecahkan rekor SEA Games dengan waktu tercepat dan disebut sebagai manusia tercepat se-Asia Tenggara saat ini. Masih ada beberapa atlet Papua  yang ikut memperkuat berbagai cabang kejuaraan olahraga lain.  Yunita Kadop, Viktor Kadop, dan Dina Hubi memperkuat cabang olah raga dayung. Yulisar Matuti  di karate dan Selly Manimbo di tinju, serta Agista Imbiri dan Christin Marani di softball.
Jika melihat prestasi demi prestasi yang ditorehkan masyarakat Papua, rasanya Indonesia perlu bersyukur memiliki pulau berbentuk kepala burung itu. Mengingat perjuangan merebut papua dari tangan Belanda pada tahun 60-an silam, rasanya perjuangan itu tak sia-sia karena Papua telah menyempurnakan keberagaman etnik budaya Indonesia, dan kini juga ikut menyemarakkan prestasi kita di ajang olahraga.
Papua memang tanah yang kaya. Kaya budaya, kaya suku, kaya sumber daya alamnya, kaya akan berbagai biota laut yang bahkan terkenal sampai ke mancanegara. Bahkan satu-satunya tempat bersalju yang ada di Indonesia hanyalah puncak Jayawijaya, Papua. Tetapi ada satu hal ironis yang muncul ketika kita mendengar kata ‘Papua’.  Pendidikan.
Prestasi mebanggakan yang ditorehkan masyarakat Papua sayangnya berbanding terbalik dengan kondisi pendidikan di pulau paling timur Indonesia itu. Pada awalnya saya penasaran, bagaimana potret pendidikan di Papua hingga menghasilkan individu-individu berkualitas di ajang olahraga ini. Jika mengingat film ‘Denias’, saya seharusnya tahu jawabannya. Namun rasa penasaran tetap mengalahkan segalanya. Dari berbagai artikel yang saya temukan ketika browsing, didapatkan beberapa informasi yang mengejutkan mengenai pendidikan di ranah Papua. Sebuah artikel blog menceritakan sebuah pengalaman ketika bertandang ke sebuah daerah di pedalaman Papua. Banyak siswa sekolah dasar berjalan-jalan ke luar sekolah pada saat jam pelajaran. Bukan karena sedang outdoor study, tapi karena guru-guru mereka sedang tidak berangkat, dan itu seringkali terjadi! Usut punya usut, ternyata jarangnya kehadiran guru dikarenakan kurangnya apresiasi pemerintah daerah terhadap pendidikan. Upah pengajar yang berjibaku di pedalaman terbilang kecil dan tidak sepadan dengan transportasi yang harus ditempuh. Belum lagi medan yang susah dicapai. Hal ini yang kemudian menjadikan para pengajar lebih memilih pergi ke kota. Lalu dengan anak-anak di pedalaman?
Butuh perjuangan ekstra keras untuk mendapatkan pendidikan, mulai dari menempuh perjalanan ratusan kilometer, harus bersabar ketika ternyata guru yang diharapkan tak kunjung tiba, belum lagi mahalnya biaya pendidikan menyebabkan mereka susah mendapatkan buku pelajaran. Hal ini berimbas pada rendahnya kualitas pendidikan di Papua. Banyak ditemui di sekolah-sekolah dasar dimana siswa kelas atas (5,6 SD) pun masih kesulitan untuk sekedar membaca. Jika hal ini terus berlanjut, bagaimana bisa mereka bersaing dengan siswa-siswa dari kota lain dalam ujian nasional? Lalu jika kegagalan dalam kelulusan merupakan hal yang wajar di sana, apakah kita akan membiarkannya menjadi penyebab utama jika mereka tidak bisa mengimbangi tuntutan globalosasi.
Jika melihat fakta yang demikian, rasanya tak pantas jika harus menunda tindakan yang seharusnya segera dilakukan untuk menyelamatkan generasi penerus di Papua. Ketika melihat prestasi gemilang yang ditunjukkan oleh masyarakat Papua di SEA Games ini, saya sempat berfikir “Apa jadinya Indonesia kalau Papua memerdekakan diri seperti Timor Timur?”. Sebuah ketakutan yang wajar mengingat selama ini masih banyak masyarakat Papua yang belum ‘tersentuh’ sehingga kehidupan sehari-hari mereka menjadi begitu memprihatinkan.
Saya pernah melihat tayangan di sebuah stasiun TV swasta yang menyajikan kehidupan di pulau paling timur Indonesia itu. Kehidupan di sekitar pesisir lebih tepatnya. Seorang reporter menyajikan portet sebuah keluarga yang kehidupannya cukup memprihatinkan. Untuk makan saja, mereka hanya mengandalkan rebusan jagung campur sayur seadanya yang dimasak tanpa bumbu, itupun termasuk makanan ‘layak’ yang bisa mereka peroleh karena tak jarang pula mereka ‘berpuasa’. Untuk pendidikannya? Hanya ada satu bangunan sekolah dengan satu guru disana. Satu bangunan dalam arti benar-benar berupa sebuah ruangan kelas. Tanpa ruang guru, ruang kepala sekolah, atau lapangan layaknya sekolah kebanyakan. Namun toh segelintir bocah di sana tetap bersemangat menimba ilmu. Sungguh sebuah pemandandangan yang miris dan ironis mengingat banyaknya yang Papua berikan untuk negeri ini. Banyak sekali kehebatan Papua yang ditunjukkan untuk Indonesia mulai dari alam hingga manusia-manusianya. Bukan saatnya lagi menganaktirikan masyarakat minoritas karena pada kenyataannya kita membutuhkan satu sama lain. Bukan saatnya menunggu waktu yang tepat untuk bertindak karena waktu terus berjalan sementara mereka tak bisa terus seperti ini. Masalah pendidikan memang menjadi tanggung jawab bersama. Bagaimanapun juga masyarakat Papua dengan berbagai kondisi pendidikannya yang memprihatinkan sudah menunjukkan kilaunya. Kilau prestasi yang membanggakan negeri ini. Semoga hal tersebut bisa menjadi pelecut semangat para pemuda Indonesia untuk berlomba memberikan yang terbaik bagi negeri ini.

Referensi: