Pages

Tuesday, November 20, 2012

Cerita Seru dan Mengharu Biru dari Tanah Blora (2)



Blora, Randublatung, 17 November 2012
7 a.m
Pagi-pagi sekali kami bangun dan bersiap-siap untuk berangkat menuju SDN 02 Temuireng. Kami berangkat pukul 7 pagi, mampir pasar terlebih dahulu untuk membeli beberapa konsumsi yang akan dibawa serta. Perjalanan kami dimulai dari pasar ke arah barat kemudian masuk ke utara menuju hutan, melewati jalan yang rusak dan berkelok-kelok menuju timur hutan dengan jarak sekitar 15 km. Medan yang kami tempuh tidak kalah rusak dari sebelumnya, apalagi ini masuk hutan. Beberapa kali kami harus berhenti dan turun dari boncengan karena tanah lumpur yang rawan membuat motor tergelincir. Setelah sepanjang perjalanan disuguhi pemandangan lebatnya hutan jati, sempat mengalami nyasar dan motor Etha sempat macet terjebak kubangan lumpur, akhirnya kami melihat pemukiman Dusun Alasmalang Desa Temuireng.


Desa Temuireng, Dusun Alasmalang, 9 a.m
Beberapa warga terlihat sedang melakukan aktifitas sehari-harinya sebagai petani ladang, selebihnya mereka yang duduk-duduk di luar rumah menyapa kami dengan ramah. Kami sempat berhenti di lokasi SDN 02 Temuireng yang sedang dibangun sebelum akhirnya diantar ke lokasi belajar sementara siswa-siswi SDN 02 Temuireng.



Lokasi belajar sementara mereka menggunakan sebuah bangunan yang sepertinya memang didirikan untuk kegiatan belajar sementara, bangunan ini ditempati oleh siswa kelas 1-3, sementara untuk siswa kelas 4-6 menempati rumah warga sekitar. Ketika melihat kedatangan kami, adik-adik langsung keluar berlarian seperti bahagia mengetahui hari itu tidak ada pelajaran seperti biasanya :D


Kegiatan hari itu dilaksanakan di bangunan sementara kelas 1-3 yang berupa ‘rumah’ tanpa sekat pembatas kelas, hanya letak papan tulis yang berjauhan yang membedakan ruangan kelas 1, 2, dan 3. Kegiatan dibuka dengan sambutan bapak kepala sekolah, Bapak Tasmin. Dalam sambutannya, beliau mengatakan “ Kakak-kakak kalian ini pinter semua, udah kuliah jadi mahasiswa. Tapi kalian lebih hebat. Lha wong kakak-kakak ini ora wani nyekel entung, kalian kan wani. Kakak-kakak kalian ini ora biasa blusukan tekan alas, kalian wes biasa (kakak-kakak ini tidak berani pegang ulat kepompong, kalian berani. Kakak-kakak ini tidak terbiasa masuk hutan, kalian udah biasa)”. Anak-anak hanya tertawa mendengar celetukan lucu bapak kepala sekolah. Tapi mendengar kalimat yang terucap dalam sambutan kepala sekolah tersebut membuat hati saya berdesir. Mereka, adik-adik kecil itu terbiasa mencari entung untuk dimakan atau dijual. Kebetulan ketika parkir di rumah warga, saya melihat seorang ibu dan anaknya sedang asyik mengumpulkan entung-entung dalam sebuah cething. Entung adalah ulat kepompong yang belum bertransformasi menjadi kupu-kupu. Biasa hinggap di pohon-pohon jati dan ditangkap untuk dijadikan santapan. Selesai sambutan dari kepala sekolah, giliran adik-adik kecil yang menyambut kami dengan yel-yel mereka yang seru. Kami tak bisa menyembunyikan senyum melihat mereka bergoyang sambil mendendangkan yel kebanggaan mereka.




Setelah itu acara diambil alih oleh Etha yang mengajak mereka menari dan bergoyang. Kami pun tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut serta. Rona bahagia jelas terpancar dari wajah-wajah polos mereka, membayar lunas segala lelah kami. Setelah itu mereka kami bagi 2 kelompok. Kelompok A terdiri atas siswa kelas 1-3 dan kelompok B terdiri atas siswa kelas 4-6.

Sebelumnya, saya mengajak mereka mengenal perpustakaan melalui gambar-gambar yang merujuk pada kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan di perpustakaan. Ternyata mereka pintar-pintar, saling bersahutan menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Kemudian saatnya kelompok A menggambar tentang perpustakaan. Mereka dibebaskan berimajinasi tentang perpustakaan ala mereka. Walaupun banyak yang masih bingung dengan apa yang ingin mereka gambar, berebut pensil warna dengan teman, ngambek karena gambarnya dicontek, hampir menangis karena malu gambarnya jelek, mereka tetap menggambar dengan penuh suka cita, kami pun senang membaur dengan mereka. Kami percaya dan kami yakin memori mereka juga akan menyimpan saat-saat indah seperti ketika kami bermain bersama mereka.
Kelompok B tidak mau kalah, jika kelompok A mengekspresikan perpustakaan melalui gambar, kelompok B mengekspresikan makna perpustakaan melalui kertas yang sudah kami bagi sebelumnya. Hasilnya lucu-lucu. Setelah itu, kami ajak adik-adik kelompok B untuk menyampul buku, kegiatan ini mengajarkan mereka bagaimana merawat buku dengan baik. 


Alhamdulillah kegiatan berlangsung lancar, mereka terlihat antusias mengikuti kegiatan yang kami berikan. Sayangnya kegiatan kami harus dipercepat karena baru pukul 12 awan mendung sudah menghinggapi langit Temuireng. Kami pun cepat-cepat membagikan konsumsi sebelum menutup kegiatan, ketika membagikan jajanan kepada adik-adik itulah saya mendengar celetukan seorang anak.
Iki jajane meh tak nggo sangu golek entung mengko (ini jajannya mau kubuat bekal waktu nyari kempompong nanti)” katanya pada teman sebelahnya.
lho, kowe yo biasa golek entung? Mbek sopo? (lho kamu biasa nyari entung? Sama siapa?)” tanyaku
“Iyo mbak, mbek konco-koncoku. Mengko nek uwes dikumpulke terus di dol, segelas limangewu (iya kak, sama temen-temenku. Nanti kalo udah dikumpulin terus dijual. Segelas harganya lima ribu)” jawabnya sumringah. Saya tercekat mendengarnya, bahkan anak sekecil mereka dengan keterbatasan sarana belajar tetap semangat bagaimana caranya supaya mimpi mereka tetap menyala.
Perhatian saya pun teralihkan ketika menangkap sebuah pohon mimpi yang berdiri di sudut depan kelas. Kertas berwarna-warni dengan coretan tangan kecil mereka bergantung rapi di setiap rantingnya, membawa harapan dan doa supaya kelak semangat mereka mampu membawa nasib yang lebih baik dan berhasil mengantongi mimpi-mimpi yang pernah mereka tulis semasa kecil. Sambil membaca satu per satu tulisan yang bergantung di sana, saya mengamini dalam hati. Mimpi-mimpi mereka rata-rata sama, khas anak kecil ketika ditanya apa yang menjadi cita-cita mereka, dokter, polisi, tentara, guru, pemain sepak bola. Namun ada satu yang berbeda, entah apa alasannya tangan kecil itu menuliskan mimpi yang lain, dengan penulisan sederhana ia menyampaikan cita-citanya menjadi supir 'teng'. Luar biasa.



Pada akhirnya, mendung memaksa kami untuk berpamitan. Ingin rasanya bermain lebih lama dengan mereka, hanya saja mengingat medan yang akan kami tempuh tidak memungkinkan untuk dilewati saat hujan, kami pun memilih bergegas. Kami diantar pulang sampai ke perbatasan hutan menuju jalan raya oleh 2 orang guru yang kebetulan juga hendak pulang. Sempat ‘berebut’ jalan dengan sapi-sapi yang sedang merumput dan hampir tergelincir lumpur. Alhamdulillah, kami tiba lagi di rumah Jefri dengan selamat dan tidak kehujanan. Kami mendapat kejutan dari ibu Jefri ketika tiba saatnya makan. Beliau menghidangkan entung goreng. Ya, entung yang saya lihat dan saya bicarakan dengan seorang anak di Temuireng kali ini muncul di hadapan saya tidak lagi ‘menari-nari’ karena sudah digoreng dan tersaji indah di piring. Jefri dengan tenangnya memakan entung goreng itu seperti memakan cemilan. Yang lain ada yang merasa geli ada juga yang penasaran. Saya termasuk yang penasaran dan memilih mengicipi jenis makanan yang tidak bisa saya temui di Semarang itu. Apalagi ternyata ‘musim entung’ ini hanya terjadi setahun sekali dan hanya berlangsung sekitar 2 minggu, jadi tunggu apa lagi? Ternyata rasanya seperti udang, dan saya juga baru tahu kalau protein yang terkandung lebih tinggi daripada protein daging sapi. Wow.

Perjalanan yang sangat luar biasa, pengalaman yang tak kalah luar biasa, dan makanan-makanan yang ruarr biasa. Saya berdoa dalam hati semoga ada ‘lain kali’ untuk kembali ke sana, di musim entung yang sama, dengan keadaan sekolah yang sudah jauh lebih baik. barangkali ketika saya kembali ke sana nanti, sudah ada cerita seru lain dari seorang calon supir ‘teng’, calon polisi, calon guru, calon dokter, dan calon orang hebat lainnya yang tengah beranjak dewasa. Amin..




Cerita Seru dan Mengharu Biru dari Tanah Blora (1)



Bagi sebagian orang, mengisi waktu akhir pekan biasanya jatuh pada pilihan tempat-tempat yang bisa membuat relax dan melupakan kepenatan selama hari kerja. Tetapi kali ini saya dan beberapa orang teman memilih untuk ‘lari’ dari kepenatan kota dengan kembali ke kearifan alam dan kebersahajaan sebuah desa. Pilihan kami jatuh pada sebuah desa di kabupaten Blora, yaitu Desa Temuireng, Dusun Alasmalang. Sebenarnya ini merupakan agenda lama, serangkaian dari program #Rainbook yang sudah kami jalankan selama 2 bulan terakhir. Jadi kami ke sana bukan sekedar menghabiskan akhir pekan, tapi juga berbekal misi-misi mimpi untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan memasyarakatkan perpustakaan. Sekedar pengingat, #Rainbook adalah rangkaian kegiatan yang berisi penggalangan buku untuk anak-anak yang digelar di Car Free Day Jl. Pahlawan Semarang setiap hari minggu pagi, buku-buku yang terkumpul ini nantinya akan disortir dan didistribusikan ke SD, panti sosial, dan rumah pintar yang membutuhkan. Tidak berhenti sampai di sana, #Rainbook yang digagas oleh EDUforID dan Pioneer Library Organizer ini juga berisi kegiatan pelatihan pustakawan kecil untuk siswa-siswi SD dengan harapan mereka bisa memahami peran perpustakaan dan mencintai buku sejak dini.
Pada akhirnya kami memutuskan untuk ‘berpetualang’ ke Blora pada 16 November yang lalu. Dan inilah awal petualangan kami. :)


16 November 2012,
Semarang, 1 p.m
Kebetulan saat itu long weekend setelah tahun baru hijriyah. Berangkatlah kami dari Semarang pukul 1 siang, yang meskipun panas menyengat, tidak menyulutkan niat dan semangat kami berenam untuk pergi ke sana. Memasuki wilayah Purwodadi, jalanan mulai bergelombang dan agak rusak tetapi Alhamdulillah bisa kami lewati dengan lancar dan selamat.

Blora, 5 p.m
Setelah sekali istirahat dan beberapa kali berhenti untuk menunggu rombongan yang tertinggal, akhirnya kami tiba di alun-alun Blora pukul 5 p.m dan memutuskan untuk singgah sejenak menikmati jajanan yang digelar di sana, karena kebetulan perut kami sudah lapar juga :p . Karena bingung dengan pilihan makanan yang ada, akhirnya pilihan kami jatuh pada warung kucingan yang cukup ramai. Awalnya beberapa anak protes, jauh-jauh ke Blora berhentinya di kucingan juga. Tapi karena perut lapar dan sudah terlalu lelah untuk berkeliling mencari warung yang lain, jadilah kami berenam lesehan di warung kucingan itu. Pesanan langsung datang bertubi-tubi, buah dari aksi protes cacing-cacing di perut kami. Ketika kami tengah bersantap nasi bungkus dan menikmati segarnya minuman, kami menangkap sesuatu yang lucu. Sendok yang kami pakai semuanya ‘mluntir’ , usut punya usut ternyata sendok itulah yang jadi brand kucingan tersebut. Gelas minuman kami pun bersablon sama, dari sana kami tahu kalau warung kucingan yang kami singgahi itu merupakan yang paling ramai dan terkenal di kalangan anak muda di Blora. Olala…. :)




Ga berhenti di kucingan saja, secara perut kami menampung banyak makanan, kami muter lagi nyari yang unik-unik dari Blora. Dan ketemulah kami dengan penjual sempol. Sempol adalah jajanan semacam tempura yang terbuat dari tepung kanji yang digoreng, rasanya enak, cukup Rp. 500,00 sudah bisa menikmati setusuk sempol.




6 p.m
Kami tiba di rumah salah seorang rekan kampus, Mbak Ariyantika. Tapi karena yang bersangkutan sedang berada di luar kota, jadilah adiknya, Dhea, yang menemani selama kami berada di Blora. Orang tua Dhea saaangat ramah, menyambut kami bagaikan anak-anaknya sendiri :). Selepas shalat, kami makan malam dengan makanan khas Blora yang lain, sate ayam. Sate ayam di sini bukan seperti sate ayam Madura yang biasa kita makan, sate ayam Blora bumbunya beda, tidak berkecap, dimakan dengan kuah santan dan sambel kacang. Kalau kita makan di warungnya langsung, kita bisa merasakan nikmatnya makan menggunakan daun jati. Ya, di Blora banyak sekali makanan yang dibungkus menggunakan daun jati, rumah-rumah di sana pun kebanyakan menggunakan kayu jati karena memang komoditi utama Blora adalah jati. Selepas acara makan malam, kami pamit karena harus meneruskan perjalanan ke rumah rekan kami yang lain, Jefri, yang lokasinya lebih dekat dengan SD Temuireng.


7.30 p.m
Kami memulai perjalanan lagi dari Blora kota menuju ke Randublatung diantar oleh Dhea dan ayahnya. Jarak randublatung dari kota adalah sekitar 30 km, dan ternyata medan yang harus kami tempuh lebih terjal dan berbahaya daripada jalanan di Purwodadi. 80% jalanan yang kami lalui rusak berat, ditambah tidak ada penerangan dengan kanan kiri lebat membuat kami harus ekstra hati-hati, berkendara perlahan dan saling menjaga jarak karena hanya sesekali terlihat ada kendaraan lain yang melintas bersama kami. Setelah lebih dari satu jam perjalanan, tibalah kami di kecamatan Randublatung, dijemput oleh rekan kami, Jefri.

Randublatung, 8.45 p.m
Benar-benar perjalanan yang panjang dan melelahkan untuk kami, setibanya di rumah Jefri kami langsung berebut untuk membersihkan diri dan rebahan sejenak di kasur. Walaupun rasanya ingin sekali tidur, semangat kami mengalahkan segalanya. Kami berkumpul lagi untuk mempersiapkan bahan yang akan digukanan pada kegiatan Pelatihan Pustakawan Kecil esok hari. Kami melakukan semuanya sampai tak sadar kalau waktu menunjukkan pukul 2 dini hari. Kami pun bersiap istirahat, menyimpan tenaga yang tersisa untuk hari yang luar biasa

Friday, April 20, 2012


The Other (interesting) Side of Reading Room

Taman baca masyarakat. Tiga kata yang masih saja terdengar asing di telinga sebagian dari kita. Apa itu taman baca masyarakat? Ya, memang kata ‘taman’ selalu  identik dengan penataan tanaman di dekat kompleks dan biasa digunakan sebagai rest area. Namun bagi sebagian masyarakat yang lain terutama bagi mereka yang cinta membaca, buku bisa jadi bahan dasar pembuatan sebuah taman. Ya,  taman baca merupakan salah satu inovasi baru sarana informasi bagi masyarakat dengan penyajian yang lebih santai. Memang dari segi ukuran, taman baca lebih kecil dari perpustakaan kebanyakan. Namun yang membuatnya beda  sebenarnya bukan dari segi ukuran atau kuantitas sarana yang disediakan. Tetapi ada pada konsep taman baca itu sendiri yang berusaha lebih mendekatkan diri kepada masyarakat
Sebenarnya ini adalah sebuah catatan perjalanan saya dan salah seorang teman yang sedang survey tempat untuk penelitian skripsi. Tujuan kami adalah  sebuah taman baca yang beralamat di Bebengan, Kabupaten Kendal. Taman Baca Masyarakat yang dimaksud adalah Pondok Maos ‘GUYUB’. Berada dekat dengan Pasar Boja, kiri jalan dari arah Semarang, Taman baca yang bertempat di sebuah rumah kecil berwarna merah marun yang sangat sederhana inilah yang menarik perhatian teman saya untuk melakukan penelitian di sana. Awalnya saya bingung dengan apa yang membuatnya berkeputusan untuk mengambil penelitian di sana, namun ketika saya masuk, persepsi awal saya tentang taman baca yang sangat sederhana ini sedikit demi sedikit berubah. Yang saya temukan di dalamnya memang buku-buku yang ditata di rak yang sederhana. Namun ketika saya melihat lebih dekat buku-buku yang ada di sana, yang saya temukan bukanlah buku-buku biasa, melainkan buku impor berbahasa asing. Di dinding-dinding rumah yang dijadikan Taman Baca itu pun tertempel bebagai poster dari luar negeri. Kesan antik dan klasik seketika menyeruak. Saya langsung teringat desain interior basecamp UKM Film yang saya ikuti, dengan tembok penuh poster film barat dan film local dari yang jadul sampai yang baru. Pun begitu yang saya lihat di sana, poster-poster dari berbagai judul buku , mungkin, karena saya yang kuper ini kurang tahu judul-judul buku berbahasa asing itu. Ada juga beberapa foto klasik juga sepotong lukisan yang ternyata hasil kreatifitas pengelola taman baca. Yang muncul di benak saya kemudian adalah, bagaimana caranya sebuah Taman Baca yang terbilang sederhana dan bertempat di tempa ala kadarnya ini dapat menyediakan buku-buku luar biasa? Ternyata pemiliknya lah yang ada di balik jilidan judul-judul yang menarik itu. Adalah Mas Sigit, begitu beliau biasa dipanggil, seorang sastrawan yang kini tinggal di Swiss bersama istrinya yang turut serta mendatangkan buku-buku luar biasa tersebut. Dibantu dengan beberapa link yang memang sudah terjalin akibat seringnya Mas Sigit ‘berkelana’.
10 menit kemudian seorang lelaki paruh baya keluar dari ruangan dalam menyambut kami, sebelumnya di ruangan depan sudah ada seorang bapak yang ternyata juga rekan kerja dan satu komunitas dengan perintis Pondok Maos Guyub. Dan lelaki paruh baya tadi, kami panggil dengan sebutan Pakdhe Hartono. Nama lengkapnya Hartono Sudjadi, beliau adalah orang yang dengan sukarela dan senang hati mendedikasikan hidupnya untuk mengurus Pondok Maos ‘GUYUB’, sekaligus menjadi ‘sesepuh’ dalam Komunitas Laskar Cinta Pustaka yang ada di Kabupaten Kendal.
Komunitas lascar Cinta Pustaka akan menjadi bahasan sendiri di segmen salanjutnya. Dalam kesempatan ini saya akan berbagi betapa menariknya system pengelolaan yang mereka terapkan dalam taman baca tersebut. System ‘swalayan’ begitu mereka menyebutnya. Mengapa demikian?
Mendengar kata ‘swalayan’ maka yang muncul di benak kita adalah konsep pemenuhan kebutuhan dengan memilih sendiri apa yang dibutuhkan kemudian membayarnya di kasir. Konsep semacam ituah yang digunakan Pondok Maos ‘GUYUB’. Pengelola menaruh kepercayaan penuh kepada pengguna atau siapapun yang berkunjung kesana entah itu untuk membaca atau untuk meminjam. Untuk system peminjaman pun, kita tinggal mengambil buku yang diinginkan, menuliskan datanya di buku peminjaman yang disediakan, kemudian buku itu bisa dibawa pulang dan dikembalikan ketika sudah selesai dibaca. ‘ketika sudah selesai dibaca’ berarti pengelola tidak member batasan waktu pengembalian. Menariknya lagi, jika ternyata buku yang dipinjam adalah buku yang sangat dibutuhkan oleh si peminjam, pengelola akan memberikannya secara cuma-cuma. Kalau ditanya apakah banyak buku yang hilang? Ya. Tapi menariknya lagi, taman baca tersebut menjadi sering mendapat kiriman buku dalam jumlah banyak dikarenakan system ;swalayan’nya yang terbilang nyeleneh disbanding taman baca yang lain itu. Betapa sebuah pelayanan yang pure ‘memberi tak harap kembali’ menurut saya. Heran? Saya pun demikian ketika mengetahui fakta tersebut. Tapi kemudian Pakdhe Har menjelaskan dengan bijak. Menurut beliau, buat apa member banyak aturan peminjaman ditambah denda diambah kekhawatiran buku rusak/hilang karena pada dasarnya buku dibuat bukann sekedar untuk pajangan kan?
“Kalo takut bukunya ilang ya bikin penyewaan buku aja, ga usah bikin perpustakaan atau taman baca” begitu celetuknya.
Jawaban nyantai tapi nyentil itu memmbuat saya tersadar. Bukan tidak mungkin kalau salah satu faktor kurang maksimalnya pemanfaatan buku dan layanan perpustakaan selama ini adalah karena system yang diterapkan. Masyarakat kita sudah terlalu dipusingkan dengan segudang aturan pemerintah. Kalau memang benar buku mempunyai sisi yang berfungsi menghibur, buat apa media yang mengakomodasi kebutuhan semacam itu seperti perpustakaan dan taman baca harus ‘latah’ menerapkan aturan yang malah membuat masyarakat tidak bisa relax dalam melahap bacaaannya?
Dari pembicaraan hari itu, kami mendapat banyak pelajaran sekaligus PR yang harus dikerjakan. Kami belajar ikhlas dari cara mereka ‘melepas’ buku kepada masyarakat yang membutuhkan. Sebagai mahasiswa yang berkecimpung di dunia perpustakaan pun kami merasa bahwa merupakan tugas kami untuk meneruskan pencitraan baik taman baca dan perpustakaan di mata masyarakat. Karena bagaimana pun juga, masyarakat berhak untuk menikmati bacaan, mengambil intisari sebuah buku, dengan cara mereka sendiri.