Pages

Friday, April 20, 2012


The Other (interesting) Side of Reading Room

Taman baca masyarakat. Tiga kata yang masih saja terdengar asing di telinga sebagian dari kita. Apa itu taman baca masyarakat? Ya, memang kata ‘taman’ selalu  identik dengan penataan tanaman di dekat kompleks dan biasa digunakan sebagai rest area. Namun bagi sebagian masyarakat yang lain terutama bagi mereka yang cinta membaca, buku bisa jadi bahan dasar pembuatan sebuah taman. Ya,  taman baca merupakan salah satu inovasi baru sarana informasi bagi masyarakat dengan penyajian yang lebih santai. Memang dari segi ukuran, taman baca lebih kecil dari perpustakaan kebanyakan. Namun yang membuatnya beda  sebenarnya bukan dari segi ukuran atau kuantitas sarana yang disediakan. Tetapi ada pada konsep taman baca itu sendiri yang berusaha lebih mendekatkan diri kepada masyarakat
Sebenarnya ini adalah sebuah catatan perjalanan saya dan salah seorang teman yang sedang survey tempat untuk penelitian skripsi. Tujuan kami adalah  sebuah taman baca yang beralamat di Bebengan, Kabupaten Kendal. Taman Baca Masyarakat yang dimaksud adalah Pondok Maos ‘GUYUB’. Berada dekat dengan Pasar Boja, kiri jalan dari arah Semarang, Taman baca yang bertempat di sebuah rumah kecil berwarna merah marun yang sangat sederhana inilah yang menarik perhatian teman saya untuk melakukan penelitian di sana. Awalnya saya bingung dengan apa yang membuatnya berkeputusan untuk mengambil penelitian di sana, namun ketika saya masuk, persepsi awal saya tentang taman baca yang sangat sederhana ini sedikit demi sedikit berubah. Yang saya temukan di dalamnya memang buku-buku yang ditata di rak yang sederhana. Namun ketika saya melihat lebih dekat buku-buku yang ada di sana, yang saya temukan bukanlah buku-buku biasa, melainkan buku impor berbahasa asing. Di dinding-dinding rumah yang dijadikan Taman Baca itu pun tertempel bebagai poster dari luar negeri. Kesan antik dan klasik seketika menyeruak. Saya langsung teringat desain interior basecamp UKM Film yang saya ikuti, dengan tembok penuh poster film barat dan film local dari yang jadul sampai yang baru. Pun begitu yang saya lihat di sana, poster-poster dari berbagai judul buku , mungkin, karena saya yang kuper ini kurang tahu judul-judul buku berbahasa asing itu. Ada juga beberapa foto klasik juga sepotong lukisan yang ternyata hasil kreatifitas pengelola taman baca. Yang muncul di benak saya kemudian adalah, bagaimana caranya sebuah Taman Baca yang terbilang sederhana dan bertempat di tempa ala kadarnya ini dapat menyediakan buku-buku luar biasa? Ternyata pemiliknya lah yang ada di balik jilidan judul-judul yang menarik itu. Adalah Mas Sigit, begitu beliau biasa dipanggil, seorang sastrawan yang kini tinggal di Swiss bersama istrinya yang turut serta mendatangkan buku-buku luar biasa tersebut. Dibantu dengan beberapa link yang memang sudah terjalin akibat seringnya Mas Sigit ‘berkelana’.
10 menit kemudian seorang lelaki paruh baya keluar dari ruangan dalam menyambut kami, sebelumnya di ruangan depan sudah ada seorang bapak yang ternyata juga rekan kerja dan satu komunitas dengan perintis Pondok Maos Guyub. Dan lelaki paruh baya tadi, kami panggil dengan sebutan Pakdhe Hartono. Nama lengkapnya Hartono Sudjadi, beliau adalah orang yang dengan sukarela dan senang hati mendedikasikan hidupnya untuk mengurus Pondok Maos ‘GUYUB’, sekaligus menjadi ‘sesepuh’ dalam Komunitas Laskar Cinta Pustaka yang ada di Kabupaten Kendal.
Komunitas lascar Cinta Pustaka akan menjadi bahasan sendiri di segmen salanjutnya. Dalam kesempatan ini saya akan berbagi betapa menariknya system pengelolaan yang mereka terapkan dalam taman baca tersebut. System ‘swalayan’ begitu mereka menyebutnya. Mengapa demikian?
Mendengar kata ‘swalayan’ maka yang muncul di benak kita adalah konsep pemenuhan kebutuhan dengan memilih sendiri apa yang dibutuhkan kemudian membayarnya di kasir. Konsep semacam ituah yang digunakan Pondok Maos ‘GUYUB’. Pengelola menaruh kepercayaan penuh kepada pengguna atau siapapun yang berkunjung kesana entah itu untuk membaca atau untuk meminjam. Untuk system peminjaman pun, kita tinggal mengambil buku yang diinginkan, menuliskan datanya di buku peminjaman yang disediakan, kemudian buku itu bisa dibawa pulang dan dikembalikan ketika sudah selesai dibaca. ‘ketika sudah selesai dibaca’ berarti pengelola tidak member batasan waktu pengembalian. Menariknya lagi, jika ternyata buku yang dipinjam adalah buku yang sangat dibutuhkan oleh si peminjam, pengelola akan memberikannya secara cuma-cuma. Kalau ditanya apakah banyak buku yang hilang? Ya. Tapi menariknya lagi, taman baca tersebut menjadi sering mendapat kiriman buku dalam jumlah banyak dikarenakan system ;swalayan’nya yang terbilang nyeleneh disbanding taman baca yang lain itu. Betapa sebuah pelayanan yang pure ‘memberi tak harap kembali’ menurut saya. Heran? Saya pun demikian ketika mengetahui fakta tersebut. Tapi kemudian Pakdhe Har menjelaskan dengan bijak. Menurut beliau, buat apa member banyak aturan peminjaman ditambah denda diambah kekhawatiran buku rusak/hilang karena pada dasarnya buku dibuat bukann sekedar untuk pajangan kan?
“Kalo takut bukunya ilang ya bikin penyewaan buku aja, ga usah bikin perpustakaan atau taman baca” begitu celetuknya.
Jawaban nyantai tapi nyentil itu memmbuat saya tersadar. Bukan tidak mungkin kalau salah satu faktor kurang maksimalnya pemanfaatan buku dan layanan perpustakaan selama ini adalah karena system yang diterapkan. Masyarakat kita sudah terlalu dipusingkan dengan segudang aturan pemerintah. Kalau memang benar buku mempunyai sisi yang berfungsi menghibur, buat apa media yang mengakomodasi kebutuhan semacam itu seperti perpustakaan dan taman baca harus ‘latah’ menerapkan aturan yang malah membuat masyarakat tidak bisa relax dalam melahap bacaaannya?
Dari pembicaraan hari itu, kami mendapat banyak pelajaran sekaligus PR yang harus dikerjakan. Kami belajar ikhlas dari cara mereka ‘melepas’ buku kepada masyarakat yang membutuhkan. Sebagai mahasiswa yang berkecimpung di dunia perpustakaan pun kami merasa bahwa merupakan tugas kami untuk meneruskan pencitraan baik taman baca dan perpustakaan di mata masyarakat. Karena bagaimana pun juga, masyarakat berhak untuk menikmati bacaan, mengambil intisari sebuah buku, dengan cara mereka sendiri.