Blora, Randublatung, 17 November 2012
7 a.m
Pagi-pagi sekali kami bangun dan
bersiap-siap untuk berangkat menuju SDN 02 Temuireng. Kami berangkat pukul 7
pagi, mampir pasar terlebih dahulu untuk membeli beberapa konsumsi yang akan
dibawa serta. Perjalanan kami dimulai dari pasar ke arah barat kemudian masuk
ke utara menuju hutan, melewati jalan yang rusak dan berkelok-kelok menuju
timur hutan dengan jarak sekitar 15 km. Medan yang kami tempuh tidak kalah
rusak dari sebelumnya, apalagi ini masuk hutan. Beberapa kali kami harus
berhenti dan turun dari boncengan karena tanah lumpur yang rawan membuat motor
tergelincir. Setelah sepanjang perjalanan disuguhi pemandangan lebatnya hutan
jati, sempat mengalami nyasar dan motor Etha sempat macet terjebak kubangan
lumpur, akhirnya kami melihat pemukiman Dusun Alasmalang Desa Temuireng.
Desa Temuireng, Dusun Alasmalang, 9 a.m
Beberapa warga terlihat sedang
melakukan aktifitas sehari-harinya sebagai petani ladang, selebihnya mereka
yang duduk-duduk di luar rumah menyapa kami dengan ramah. Kami sempat berhenti
di lokasi SDN 02 Temuireng yang sedang dibangun sebelum akhirnya diantar ke
lokasi belajar sementara siswa-siswi SDN 02 Temuireng.
Lokasi belajar
sementara mereka menggunakan sebuah bangunan yang sepertinya memang didirikan
untuk kegiatan belajar sementara, bangunan ini ditempati oleh siswa kelas 1-3, sementara
untuk siswa kelas 4-6 menempati rumah warga sekitar. Ketika melihat kedatangan
kami, adik-adik langsung keluar berlarian seperti bahagia mengetahui hari itu
tidak ada pelajaran seperti biasanya :D
Kegiatan
hari itu dilaksanakan di bangunan sementara kelas 1-3 yang berupa ‘rumah’ tanpa
sekat pembatas kelas, hanya letak papan tulis yang berjauhan yang membedakan
ruangan kelas 1, 2, dan 3. Kegiatan dibuka dengan sambutan bapak kepala sekolah,
Bapak Tasmin. Dalam sambutannya, beliau mengatakan “ Kakak-kakak kalian ini
pinter semua, udah kuliah jadi mahasiswa. Tapi kalian lebih hebat. Lha wong kakak-kakak ini ora wani nyekel
entung, kalian kan wani. Kakak-kakak kalian ini ora biasa blusukan tekan alas,
kalian wes biasa (kakak-kakak ini tidak berani pegang ulat kepompong,
kalian berani. Kakak-kakak ini tidak terbiasa masuk hutan, kalian udah biasa)”.
Anak-anak hanya tertawa mendengar celetukan lucu bapak kepala sekolah. Tapi mendengar
kalimat yang terucap dalam sambutan kepala sekolah tersebut membuat hati saya
berdesir. Mereka, adik-adik kecil itu terbiasa mencari entung untuk dimakan atau dijual. Kebetulan ketika parkir di rumah
warga, saya melihat seorang ibu dan anaknya sedang asyik mengumpulkan entung-entung dalam sebuah cething. Entung adalah ulat kepompong
yang belum bertransformasi menjadi kupu-kupu. Biasa hinggap di pohon-pohon jati
dan ditangkap untuk dijadikan santapan. Selesai
sambutan dari kepala sekolah, giliran adik-adik kecil yang menyambut kami
dengan yel-yel mereka yang seru. Kami tak bisa menyembunyikan senyum melihat
mereka bergoyang sambil mendendangkan yel kebanggaan mereka.
Setelah
itu acara diambil alih oleh Etha yang mengajak mereka menari dan bergoyang.
Kami pun tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut serta. Rona bahagia jelas
terpancar dari wajah-wajah polos mereka, membayar lunas segala lelah kami.
Setelah itu mereka kami bagi 2 kelompok. Kelompok A terdiri atas siswa kelas
1-3 dan kelompok B terdiri atas siswa kelas 4-6.
Sebelumnya,
saya mengajak mereka mengenal perpustakaan melalui gambar-gambar yang merujuk
pada kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan di perpustakaan. Ternyata mereka
pintar-pintar, saling bersahutan menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Kemudian saatnya kelompok A
menggambar tentang perpustakaan. Mereka dibebaskan berimajinasi tentang
perpustakaan ala mereka. Walaupun
banyak yang masih bingung dengan apa yang ingin mereka gambar, berebut pensil
warna dengan teman, ngambek karena gambarnya dicontek, hampir menangis karena
malu gambarnya jelek, mereka tetap menggambar dengan penuh suka cita, kami pun
senang membaur dengan mereka. Kami percaya dan kami yakin memori mereka juga
akan menyimpan saat-saat indah seperti ketika kami bermain bersama mereka.
Kelompok
B tidak mau kalah, jika kelompok A mengekspresikan perpustakaan melalui gambar,
kelompok B mengekspresikan makna perpustakaan melalui kertas yang sudah kami
bagi sebelumnya. Hasilnya lucu-lucu. Setelah itu, kami ajak adik-adik kelompok
B untuk menyampul buku, kegiatan ini mengajarkan mereka bagaimana merawat buku
dengan baik.
Alhamdulillah kegiatan berlangsung lancar, mereka terlihat
antusias mengikuti kegiatan yang kami berikan. Sayangnya kegiatan kami harus
dipercepat karena baru pukul 12 awan mendung sudah menghinggapi langit Temuireng.
Kami pun cepat-cepat membagikan konsumsi sebelum menutup kegiatan, ketika
membagikan jajanan kepada adik-adik itulah saya mendengar celetukan seorang
anak.
“Iki jajane meh tak nggo sangu golek entung
mengko (ini jajannya mau kubuat bekal waktu nyari kempompong nanti)”
katanya pada teman sebelahnya.
“lho, kowe yo biasa golek entung? Mbek sopo? (lho
kamu biasa nyari entung? Sama siapa?)” tanyaku
“Iyo mbak, mbek konco-koncoku. Mengko nek
uwes dikumpulke terus di dol, segelas limangewu (iya
kak, sama temen-temenku. Nanti kalo udah dikumpulin terus dijual. Segelas
harganya lima ribu)” jawabnya sumringah. Saya tercekat mendengarnya, bahkan
anak sekecil mereka dengan keterbatasan sarana belajar tetap semangat bagaimana
caranya supaya mimpi mereka tetap menyala.
Perhatian
saya pun teralihkan ketika menangkap sebuah pohon mimpi yang berdiri di sudut
depan kelas. Kertas berwarna-warni dengan coretan tangan kecil mereka
bergantung rapi di setiap rantingnya, membawa harapan dan doa supaya kelak
semangat mereka mampu membawa nasib yang lebih baik dan berhasil mengantongi
mimpi-mimpi yang pernah mereka tulis semasa kecil. Sambil membaca satu per satu
tulisan yang bergantung di sana, saya mengamini dalam hati. Mimpi-mimpi mereka
rata-rata sama, khas anak kecil ketika ditanya apa yang menjadi cita-cita
mereka, dokter, polisi, tentara, guru, pemain sepak bola. Namun ada satu yang
berbeda, entah apa alasannya tangan kecil itu menuliskan mimpi yang lain,
dengan penulisan sederhana ia menyampaikan cita-citanya menjadi supir 'teng'. Luar
biasa.
Pada
akhirnya, mendung memaksa kami untuk berpamitan. Ingin rasanya bermain lebih
lama dengan mereka, hanya saja mengingat medan yang akan kami tempuh tidak
memungkinkan untuk dilewati saat hujan, kami pun memilih bergegas. Kami diantar
pulang sampai ke perbatasan hutan menuju jalan raya oleh 2 orang guru yang
kebetulan juga hendak pulang. Sempat ‘berebut’ jalan dengan sapi-sapi yang
sedang merumput dan hampir tergelincir lumpur. Alhamdulillah, kami tiba lagi di
rumah Jefri dengan selamat dan tidak kehujanan. Kami mendapat kejutan dari ibu
Jefri ketika tiba saatnya makan. Beliau menghidangkan entung goreng. Ya, entung
yang saya lihat dan saya bicarakan dengan seorang anak di Temuireng kali ini
muncul di hadapan saya tidak lagi ‘menari-nari’ karena sudah digoreng dan
tersaji indah di piring. Jefri dengan tenangnya memakan entung goreng itu seperti memakan cemilan. Yang lain ada yang
merasa geli ada juga yang penasaran. Saya termasuk yang penasaran dan memilih
mengicipi jenis makanan yang tidak bisa saya temui di Semarang itu. Apalagi ternyata
‘musim entung’ ini hanya terjadi
setahun sekali dan hanya berlangsung sekitar 2 minggu, jadi tunggu apa lagi? Ternyata
rasanya seperti udang, dan saya juga baru tahu kalau protein yang terkandung lebih
tinggi daripada protein daging sapi. Wow.
Perjalanan
yang sangat luar biasa, pengalaman yang tak kalah luar biasa, dan
makanan-makanan yang ruarr biasa. Saya berdoa dalam hati semoga ada ‘lain kali’
untuk kembali ke sana, di musim entung
yang sama, dengan keadaan sekolah yang sudah jauh lebih baik. barangkali ketika
saya kembali ke sana nanti, sudah ada cerita seru lain dari seorang calon supir
‘teng’, calon polisi, calon guru, calon dokter, dan calon orang hebat lainnya
yang tengah beranjak dewasa. Amin..