Bagi sebagian orang, mengisi waktu akhir pekan biasanya jatuh
pada pilihan tempat-tempat yang bisa membuat relax dan melupakan kepenatan
selama hari kerja. Tetapi kali ini saya dan beberapa orang teman memilih untuk
‘lari’ dari kepenatan kota dengan kembali ke kearifan alam dan kebersahajaan
sebuah desa. Pilihan kami jatuh pada sebuah desa di kabupaten Blora, yaitu Desa
Temuireng, Dusun Alasmalang. Sebenarnya ini merupakan agenda lama, serangkaian
dari program #Rainbook yang sudah kami jalankan selama 2 bulan terakhir. Jadi
kami ke sana bukan sekedar menghabiskan akhir pekan, tapi juga berbekal
misi-misi mimpi untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan memasyarakatkan
perpustakaan. Sekedar pengingat, #Rainbook adalah rangkaian kegiatan yang
berisi penggalangan buku untuk anak-anak yang digelar di Car Free Day Jl.
Pahlawan Semarang setiap hari minggu pagi, buku-buku yang terkumpul ini
nantinya akan disortir dan didistribusikan ke SD, panti sosial, dan rumah pintar
yang membutuhkan. Tidak berhenti sampai di sana, #Rainbook yang digagas oleh
EDUforID dan Pioneer Library Organizer ini juga berisi kegiatan pelatihan
pustakawan kecil untuk siswa-siswi SD dengan harapan mereka bisa memahami peran
perpustakaan dan mencintai buku sejak dini.
Pada akhirnya kami memutuskan untuk ‘berpetualang’ ke Blora
pada 16 November yang lalu. Dan inilah awal petualangan kami. :)
16 November 2012,
Semarang, 1 p.m
Kebetulan saat itu long weekend setelah tahun baru hijriyah.
Berangkatlah kami dari Semarang pukul 1 siang, yang meskipun panas menyengat,
tidak menyulutkan niat dan semangat kami berenam untuk pergi ke sana. Memasuki
wilayah Purwodadi, jalanan mulai bergelombang dan agak rusak tetapi
Alhamdulillah bisa kami lewati dengan lancar dan selamat.
Blora, 5 p.m
Setelah sekali istirahat dan beberapa kali berhenti untuk
menunggu rombongan yang tertinggal, akhirnya kami tiba di alun-alun Blora pukul
5 p.m dan memutuskan untuk singgah sejenak menikmati jajanan yang digelar di
sana, karena kebetulan perut kami sudah lapar juga :p . Karena bingung dengan
pilihan makanan yang ada, akhirnya pilihan kami jatuh pada warung kucingan yang
cukup ramai. Awalnya beberapa anak protes, jauh-jauh ke Blora berhentinya di
kucingan juga. Tapi karena perut lapar dan sudah terlalu lelah untuk
berkeliling mencari warung yang lain, jadilah kami berenam lesehan di warung
kucingan itu. Pesanan langsung datang bertubi-tubi, buah dari aksi protes
cacing-cacing di perut kami. Ketika kami tengah bersantap nasi bungkus dan
menikmati segarnya minuman, kami menangkap sesuatu yang lucu. Sendok yang kami
pakai semuanya ‘mluntir’ , usut punya
usut ternyata sendok itulah yang jadi brand
kucingan tersebut. Gelas minuman kami pun bersablon sama, dari sana kami tahu
kalau warung kucingan yang kami singgahi itu merupakan yang paling ramai dan
terkenal di kalangan anak muda di Blora. Olala…. :)
Ga berhenti di kucingan saja, secara perut kami menampung
banyak makanan, kami muter lagi nyari yang unik-unik dari Blora. Dan ketemulah
kami dengan penjual sempol. Sempol adalah jajanan semacam tempura yang terbuat
dari tepung kanji yang digoreng, rasanya enak, cukup Rp. 500,00 sudah bisa
menikmati setusuk sempol.
6 p.m
Kami tiba di rumah salah seorang rekan kampus, Mbak
Ariyantika. Tapi karena yang bersangkutan sedang berada di luar kota, jadilah
adiknya, Dhea, yang menemani selama kami berada di Blora. Orang tua Dhea
saaangat ramah, menyambut kami bagaikan anak-anaknya sendiri :). Selepas shalat, kami makan malam
dengan makanan khas Blora yang lain, sate ayam. Sate ayam di sini bukan seperti
sate ayam Madura yang biasa kita makan, sate ayam Blora bumbunya beda, tidak
berkecap, dimakan dengan kuah santan dan sambel kacang. Kalau kita makan di
warungnya langsung, kita bisa merasakan nikmatnya makan menggunakan daun jati.
Ya, di Blora banyak sekali makanan yang dibungkus menggunakan daun jati,
rumah-rumah di sana pun kebanyakan menggunakan kayu jati karena memang komoditi
utama Blora adalah jati. Selepas acara makan malam, kami pamit karena harus
meneruskan perjalanan ke rumah rekan kami yang lain, Jefri, yang lokasinya
lebih dekat dengan SD Temuireng.
7.30 p.m
Kami memulai perjalanan lagi dari Blora kota menuju ke
Randublatung diantar oleh Dhea dan ayahnya. Jarak randublatung dari kota adalah
sekitar 30 km, dan ternyata medan yang harus kami tempuh lebih terjal dan
berbahaya daripada jalanan di Purwodadi. 80% jalanan yang kami lalui rusak
berat, ditambah tidak ada penerangan dengan kanan kiri lebat membuat kami harus
ekstra hati-hati, berkendara perlahan dan saling menjaga jarak karena hanya
sesekali terlihat ada kendaraan lain yang melintas bersama kami. Setelah lebih
dari satu jam perjalanan, tibalah kami di kecamatan Randublatung, dijemput oleh
rekan kami, Jefri.
Randublatung, 8.45 p.m
Benar-benar
perjalanan yang panjang dan melelahkan untuk kami, setibanya di rumah Jefri
kami langsung berebut untuk membersihkan diri dan rebahan sejenak di kasur. Walaupun
rasanya ingin sekali tidur, semangat kami mengalahkan segalanya. Kami berkumpul
lagi untuk mempersiapkan bahan yang akan digukanan pada kegiatan Pelatihan
Pustakawan Kecil esok hari. Kami melakukan semuanya sampai tak sadar kalau
waktu menunjukkan pukul 2 dini hari. Kami pun bersiap istirahat, menyimpan
tenaga yang tersisa untuk hari yang luar biasa
0 komentar:
Post a Comment